Novel "Will You Marry Me?" Episode Saputangan Cinta
Sejak pagi buta, Naya dibangunkan
oleh suara bising dari kamar depan. Dirinya sudah tak heran lagi dengan
teriakan Ciella yang sedang menelpon. Tapi kesalnya kenapa harus pagi sekali ia
mendengar keributan yang membuatnya harus beranjak dari tempat tidur.
Naya pergi menuju kamar yang
dipisahkan oleh ruang santai di lantai dua tersebut. Begitu pun dengan Maika
yang menyusul dari kamar yang berdekatan. Mereka buru-buru menuju tempat Ciella
yang terus marah tanpa hentinya. Di antara gadis-gadis itu tidak nampak Vina,
rupanya ia sudah pergi sejak subuh bersama putrinya karena harus pergi mengajar
di pagi hari. Dari kejauhan, pintu tersebut sudah terbuka lebar seperti menanti
kedua penghibur yang bisa menenangkan Ciella.
“ Duggggg….” Terdengar bantingan
sebuah benda pada pintu kamar Ciella.
Naya yang sudah tiba di depan
pintu langsung memungut serpihan handphone yang sudah berkeping-keping.
Sementara Maika langsung menghampiri Ciella yang sedang meluapkan amarahnya.
“ Gue gak tau lagi harus gimana!
Tiba-tiba dia nelpon dan bilang kalau mau pergi dinas ke bandung lima hari!
Terus gue?!” Ciella melontarkan curhatannya dengan wajah yang merah padam.
“ Udah lah Cil, suami loe kan
pergi juga buat kerja, bukan ngapa-ngapain.” Maika menenangkan sambil
mengelus-elus pundaknya.
“ Iya cil, itu kan juga buat
ngidupin loe.” Naya mulai melanjutkan sambil tidur-tiduran di sebelah temannya.
“ Loe semua gak ngerti? Dalam
kehidupan rumah tangga itu, waktu adalah yang paling berharga. Meskipun dia
sibuk bekerja, setidaknya dia bisa meluangkan waktunya untuk ngehubungi gue.
Setidaknya dia bisa nganter gue belanja, setidaknya dia bisa tau saat gue butuh
kehadirannya.” Ciella mulai menangis.
“ Emang bener sih, gue juga bisa
ngerasain. Kalau waktu sama pasangan berkurang, bisa jadi cinta pun ikut
berkurang kan? Dan akhirnya gak bisa ngertiin satu sama lain, yang ada jadi
cemburu dan muncul pikiran negative lainnya.” Maika tiba-tiba berkata bijak
“ Udah dong,,,jangan nangis ya..
Tenang..Tenang….” Lanjut Maika.
Naya yang mendengar percakapan
teman-temannya itu hanya bisa menghelai nafas panjang. Ia sesekali melihat
kepingan handphone Ciella yang sejak tadi dipegangnya. Lalu matanya menatap
tajam kedua kawannya yang berada di sampingnya. Matanya tertuju pada Ciella
yang mengalami kegoncangan pagi itu. Ia melihat luka dalam yang sangat tergores
karena sebuah cinta. Matanya yang memerah dan suaranya yang mulai serak
terdengar lebih menyakitkan di hati Naya. Pikirannya teringat akan masa lalu
yang ia lewati bersama ketiga wanitanya itu. Ia ingat sekali saat melihat
kebahagiaan Ciella saat pertama kali mengumumkan akan menikah. Mata indah yang
berbinar saat itu membuat Naya ikut bahagia. Begitupun saat mereka duduk berdua
dipelaminan seperti putri dan pangeran dari kerajaan Inggris.
Namun ia juga tidak lupa
kenangannya ketika Ciella pertama kali menangis karena harus ditinggal dinas ke
luar kota. Dan kenangan itu semakin membukakan pikirannya akan masa-masa Ciella
dan Adlan berpacaran, ia sudah tidak aneh lagi dengan pertengkaran dua sejoli
tersebut. ditambah lagi hubungan jarak jauh membuat Ciella harus menghianati
pasangannya. Dan pada akhirnya pun ikatan suci tersebut hanya membawa kesedihan
untuk Ciella.
Naya tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Logikanya hanya menjadikannya lebih individualis dan anti laki-laki.
Baginya laki-laki merupakan makhluk berbeda yang tidak akan pernah sama dengan
perempuan. Perbedaan cara pandang itulah yang membuat sebuah pasangan tidak
akan pernah bahagia. Tidak akan pernah bahagia selamanya, itulah yang ia
pikirkan.
Tak lama pandangannya tertuju pada
Maika yang sejak tadi memberikan bahunya untuk menenangkan kesedihan Ciella.
Dari kedua matanya, Naya melihat air mata yang sudah menumpuk dan mulai
terjatuh namun Maika menahannya. Ia terus menguatkan Ciella dan memberikan
ketenangan. Hati kecil naya mulai tersenyum, ia bagaikan melihat kesejukan dan
kedamaian dari adegan yang ia tonton tersebut. Keberuntungannya memiliki
sahabat setia yang selalu ada untuk menangis, selalu ada untuk bahagia bukan
hanya sekedar dongeng belaka. Tapi dia selalu menyayangkan pada dirinya yang
tidak bisa menangis di depan kawan-kawannya saat mereka meneteskan air mata. Ia
merasa bahwa air matanya sudah cukup untuk menangisi kehidupan yang ia alami
sejak dulu.
“ Udah lah, kan masih ada kita?”
Naya mulai memberikan senyum lebarnya sambil mengedipkan kedua matanya.
Tanpa menghiraukan hiburan dari
kegenitan Naya, Ciella dan Maika pergi meninggalkan kamar dengan seketika
sambil bercakap ria.
“ Hey!! Heeyyy!!..kalian mau
kemana?!” Naya mengejar kedua temannya.
Pukul 9 lewat 10 menit, terlihat
ketiga wanita itu sedang asyik berbincang di ruang makan. Terlepas dari
kesedihannya ditinggal suami pergi, Ciella sudah mulai terlihat ceria kembali.
Naya yang sedang asyik memakan semua masakan yang baru dituangkan Maika di
piring sudah terlihat rapi dengan pakaian casual, celana jins hitam dan sepatu
ketsnya. Dari atas sampai bawah, dirinya memang terlihat snagat muda dari yang
lainnya. Padahal usianya satu tahun lebih tua dari kawan-kawannya itu.
“ Ih..Nay! kalau loe terus
ngabisin tuh makanan, gue gak bakalan kebagian dong..” Ciella tiba-tiba
menghentikan nyanyiannya karena kesal melihat tingkah Naya.
Tanpa sepatah kata pun, Naya tidak
peduli dengan apa yang dikatakan Ciella. Ia terus saja mengambil makanan yang
baru di pasak Maika.
“ etttsss…..!!! ini punya gue!”
Tiba-tiba Ciella menyerobot makanan yang di bawa Maika. Dan Naya membalasnya
dengan tatapan kesal.
“ hey kalian ini! ribut mulu! Udah
sana pergi bukannya mau pada kerja ya?!” Maika mulai kesal.
“ Di butik gue kan banyak pegawai,
jadi ngapain jug ague datang pagi-pagi. Santai aja…” Ciella menjawab pertanyaan
Maika dengan tegas.
“ eh Vina mana ya? Tiba-tiba aku
kangen banget padanya..” Naya mengalihkan pembicaraan
“ kayak yang gak tau aja loe,
diakan harus kekantor pagi-pagi terus pulang siang. Gue gak bisa ngebayangin
capeknya dia ngajar anak kecil yang pada bawel terus nangis, terus berisik banget.
Ih…” Ciella mengejek pekerjaan Vina sebagai guru taman kanak-kanak.
“ Pantesan loe belum punya anak
sampe sekarang, beda kayak Vina yang udah ahlinya ngurus anak-anak.” Naya
tiba-tiba menjadi pembela bagi ibu guru itu.
Sementara Ciella merasa tersindir
dengan ucapan Naya. Memang sudah memasuki dua tahun, Ciella belum dikarunia
seorang anak pun meski dia dan suaminya menikah di usia yang sangat muda
sekali.
“ Nay, kamu jangan mengalihkan
pembicaraan! Sana kerja nanti dimarahin editor lagi!” Maika mencoba melindungi
hati Ciella dan menyudutkan Naya. Penulis yang satu ini memang kesal sekali
jika mendengar kata ‘editor’, ia kerap dimarahin dan seperti mengalami
penjajahan jika editornya menyuruh revisi naskah.
“ Ish…aku kan penulis. Penulis itu
bebas bertebaran dimana pun. Gak perlu lah ke kantor segala!” Kesombongan Naya
mulai keluar.
“ Tuh anak nyebelin banget!” Maika
mulai kesal, sementara Naya membalasnya dengan cengengesan.
“ Ka? Aku nebeng ya? Tujuan kita
sama kok, tempat favorit yang paling asyik dan tempat nongkrong anak muda.”
Naya mulai mencoba merayu Maika dengan memuji Café yang didirikan Maika dua
tahun yang lalu.
“ Pasti ada maunya!” Maika
memalingkan muka dan buru-buru berangkat. Sementara Ciella dengan santainya
menuju mobil dan menancapkan gasnya menuju Butik yang ia kelola.
“ Wiss…Cepet banget tuh anak!
Dasar! Eh, Ka… mobil ku kan di rumah jadi…..” Naya mulai memelas.
“ Ya, tapi kamu yang nyetir!”
Jawaban Maika singkat.
Café yang berada di pusat kota
Jakarta ini sudah menjadi langganan Naya. Bahkan ia tahu bagaimana tempat itu
didirikan. Setelah lulus kulaih, Maika memang langsung merencanakan untuk
mendirikan sebuah tempat asyik buat nongkrong anak muda. Tidak hanya itu,
tempat ini juga cocok dijadikan pertemuan bagi para karyawan yang sedang rapat.
Nuansa klasik berpadukan modern bisa dinikmati oleh siapapun. Harganya pun
sangat pas untuk semua kalangan dengan sajian makanan eropa yang sangat nikmat
di lidah.
Naya membuka laptop yang dibawanya.
Ia duduk sambil memesan minuman Kesukaannya. Sambil mendengarkan music,jari
jemarinya mulai mengetikan setiap tombol pada keyboard. Maika yang datang
berbarengan terlihat memasuki dapur untuk mengontrol semua penjualan sejak pagi
tadi.
Kali ini pun ia memikirkan sebuah
cerita sesuai dengan apa yang dirasakannya. Sejak dulu sampai sekarang, Naya
merasakan luka yang amat dalam dan tak pernah hilang. Ditambah kejadian
orang-orang disekitarnya yang penuh dengan air mata. Jika dilihat dari luar,
Naya memang sangat tegas dan juga angkuh namun terkadang juga ramah tapi sangat
jarang terjadi. Tak heran jika orang-orang yang melihatnya akan mengatakan ia
sosok wanita sempurna sangat sempurna.
Tak banyak yang tahu juga, setiap
cerita yang dibuat merupakan ungkapan seluruh isi hatinya. Tentang kesendirian,
kesedihan, kehilangan dan perjuangan namun berakhir ketidak bahagiaan. Ia
berpikir bahwa pembaca hanya penonton yang siap melahap karyanya tanpa tahu
makna seorang penulis yang menuangkannya.
Tak lama dirinya mulai terganggu
dengan kehadiran pelayan yang memberikan pesanannya. Juga ditambah suara-suara
bising yang berada di luar balkon café tersebut dengan kerumunan para lelaki.
Saat menatap ke arah orang-orang
yang sedang berkerumun tersebut, Naya melihat Adit yang sedang menelpon.
Melihat ada yang memperhatikannya dari jauh, Adit tersenyum dan melambaikan
tangan pada Naya. Naya pun berpikir mungkin itu teman kantor adit yang sedang
membicarakan pekerjaan. Tapi itu benar-benar membuat mood menulisnya hilang.
Waktu terus beljalan, sementara
Naya hanya bisa memandangi laptopnya tanpa ada sedikitpun yang harus di
ceritakan. Es Capucinno yang sejak tadi menemaninya belum sedikitpun disentuh.
Hiasan indah yang dipadukan dalam suguhan capucinno …… itu sedikit demi sedikit
memudar dan dan melebur menjadi air.
“ Tuutt…Tutt….” Terdengar getaran
handphone yang sejak tadi terpajang di pinggir meja.
“ Hallo mba ada apa?” Naya mulai
berbicara pada seseorang di balik telpon yang ternyata editornya.
Perbincangan tersebut membuat Naya
tampak kaget. Dari nada suaranya, ia terdengar sangat kecewa.
“ Oh iya mba saya akan segera
kesana.” Setelah percakapan lebar melalui telpon, Naya terlihat mulai
membereskan laptopnya yang sejak tadi menanti kata demi kata yang akan ia
tuliskan.
Tangan kananya begitu gesit
membereskan bawaannya, sementara tangan kiri masih khusuk dengan menjawab
telpon dari mba Rita. Maika hanya menonton tingkah temanya itu dari jauh.
Setelah beres ia kebingungan
dengan minuman segar yang belum diminumnya sejak 1 jam yang lalu. Dengan
kecepatan maksimum, ia menggantungkan laptop pada lengan kirinya sementara
tangannya masih memegang handphone. Dibawanya minuman itu dengan tangan kanan
dan…
“Byuuurrrrr….”
Minuman itu tumpah ruah saat
seorang laki-laki tiba-tiba berlari masuk dan menabraknya. Naya yang sedang di kejar
waktu terlihat kesal namun tidak memiliki kesempatan untuk memarahi seseorang
di depanya itu. Maika yang melihatnya langsung membawakan tisu dan membantu
Naya membersihkan bajunya.
“ Iya mba aku denger…” Naya mulai
kesal dengan situasi itu, ditambah mba Rita masih terus mengajaknya ngobrol di
telepon.
Sambil mendengarkan ocehan mba
Rita di telpon, Naya terus saja membersihkan tumpahan minuman pada bajunya itu
dibantu oleh Maika. Lama ke lamaan Maika sadar, jika laki-laki yang menabrak
Naya itu hanya berdiam diri dan memperhatikan dengan jelas gelagat Naya yang
kerepotan. Sambil melihat senyum kecil di bibir sang lelaki yang tertuju pada
kawannya itu, Maika mulai menerka-nerka laki-laki tersebut. Ia merasa bahwa
pernah bertemu dengannya di suatu tempat.
“ Kamu kan…?” Maika mulai ingat.
“ Oh….” Ia hanya tersenyum pada
Maika lalu langsung membantu Naya.
“ Ini pake ini aja?” ia
menyodorkan satu tangan dari saku celananya.
Naya langsung mengambilnya sambil
menatap tajam lelaki itu, lalu membersihkannya lagi. Dengan cepat noda itu
mulai sedikit menghilang dari bajunya.
Kejadian singkat itu membuat Maik
terus menatap laki-laki di hadapannya yang sejak tadi terus memandangi Naya.
Dari atas sampai bawah, tampilannya percis seperti yang ia temui di acara
Launcing buku waktu lalu, hanya ditambah jas hitam yang membuatnya sedikit
terlihat berkelas.
Naya mulai lega karena nodanya
tidak terlalu terlihat jelas. Ia mengembalikan sapu tangan pada laki-laki yang
menabraknya itu dengan kasar lalu keluar menuju mobil Maika dan membawanya
pergi.
“ Sampai jumpa…” Maika berteriak
ketika Naya mulai keluar walaupun tanpa ada jawaban sama sekali.
“ Rafa…woy sini cepet!” Terdengar
suara Adit memanggil dari jauh pada laki-laki yang berada di samping Maika.
Maika semakin yakin kalau laki-laki
tadi itu teman Adit yang ditemuinya saat peluncuran buku Naya waktu lalu.
Matahari sudah mulai menampakan
wajahnya dengan jelas. Udara yang panas tersebut, membuat semua orang ingin
berdatangan ke Café Maika untuk mendapatkan minuman segar dan makanan enak.
Café yang diberi nama sesuai dengan namanya “Café Maika” memang membawa
keberuntungan tersendiri. Entah kenapa banyak orang terhipnotis untuk datang
walau hanya sekedar nongkrong.
Di balkon yang berada di pinggir
dari pintu masuk tersebut, Adit sudah mulai membuka kegiatan rapat yang
diadakannya untuk membahas penjualan buku dari setiap toko buku yang ada di
Jakarta. Rafa merupakan perwakilan dari ayahnya sebagai owner perusahaan untuk
melakukan monitoring secara langsung ke lapangan. Sebagai kepala bagian
pemasaran, Adit memimpin anak buahnya untuk mengunjungi toko buku yang ada.
Sebelum berangkat, mereka membahas tentang buku-buku yang sudah sould out di
beberapa toko yang ada.
“ Fa?fa?” Penjelasannya terhenti
ketika ia melihat tingkah Rafa yang aneh.
Sejak pertama datang, Adit hanya
melihat Rafa berdiam diri sambil meraba-raba sapu tangan yang dipegangnya itu.
Para pegawai yang dari awal melihat ketuanya hanya duduk manis dan melamun
membuat Adit harus menyadarkannya.
“ Oh ya udah, ayo pergi?” Rafa
langsung berdiri dan keluar dari rapat tersebut.
Adit dan yang lainnya saling
memandang, padahal rapat tersebut belum selesai sama sekali. Namun mereka pada
akhirnya mengikuti sang ketua untuk mendatangi beberapa toko buku.
“ Yang, aku pergi dulu ya?” Adit
menghampiri Maika sebelum pergi
“ Iya…Dahhhh…..” Maika melambaikan
tangan.
Tidak lama dari itu, para lelaki
yang tadinya memakai baju formal dengan jas yang dikenakannya, tiba-tiba
berubah. Kali ini mereka bergaya ala anak muda yang sedang pergi jalan-jalan.
Investigasi yang mereka lakukan memang tidak formal. Pasalnya tanpa diketahui
perusahaan, Adit menginginkan sistem penjualan buku dari penerbitannya berjalan
dengan lancar. Dengan gaya seperti itu, mereka akan lebih mudah bertanya secara
langsung pada masyarakat tentang genre buku yang sedang di gandrungi. Juga
untuk memastikan buku apa yang sedang populer sekarang ini.
Di lantai dua yang merupakan
tempat pokok penjualan buku, Adit, Rafa dan 8 orang lainnya mulai melakukan
investigasinya. Namun dari kejauhan sudah terlihat kerumunan yang membuat
mereka sulit untuk masuk. Tapi Adit dan Rafa meyakini kalau hari itu adalah
yang paling tepat. Dengan banyaknya pengunjung berarti mereka akan lebih mudah
menghasut orang-orang untuk membeli buku dari penerbitannya.
“ eh..eh…bukannya itu Naya ya yang
penulis itu? Karaissa Naraya Anantiar.” Kata salah seorang dari mereka yang
melihat penyebab dari kerumunan di toko buku tersebut.
“ Ya, pantesan aja rame, orang ada
penulis terkenal. Biasanyakan toko buku sepi…hehehh…” Lanjut yang lainnya.
Adit mulai melihat untuk
meyakinkan. Dari kejauhan dilihatnya Naya yang seperti kerepotan. Selain harus
meyakinkan orang-orang untuk membeli bukunya, ia pun di serbu untuk dimintai
tanda tangan. Beda lagi dengan Rafa yang diam-diam mengendap keluar dari
rombongan. Ia mulai mempercepat langkah kakinya sambil menutupi wajahnya dengan
topi yang dikenakannya itu.
“ Ayo masuk…” Adit memulai aba-aba
dan menyuruh mereka untuk menyebar.
Sementara Naya sudah merasa sangat
kelelahan. Ia tidak sanggup lagi jika hanya harus mempromosikan bukunya bersama
kedua rekannya. Sejak pemberitahuan dari mba Rita di telpon tadi tentang
bukunya yang kurang peminat, Naya berpikir untuk terjun langsung agar banyak
orang tertarik. Ia tak habis pikir pasalnya saat peluncuran kemarin banyak
sekali orang yang datang dan menyukai karyanya. Baru sehari terpampang di toko
buku ternyata tak sedikit juga yang merasa bosan dengan ide ceritanya itu.
Mereka kebanyakan berkoar dan berkomentar di jejaring sosial. Untungnya sebelum
buku itu mengendap di gudang jika tak laku nanti, Naya sudah mengambil langkah
yang lumayan mebuatnya harus bekerja dua kali.
“ Nona penulis…” Tiba-tiba Nana
menghampiri.
“ Hallo cantik…., kalian? Ngapain
ke sini?” kelelahan Naya mulai sedikit terobati dengan kehadiran teman-temannya
itu.
“ Tadi Adit nelpon, keliatannya
kamu butuh bantuan kita?” Maika menjelaskan..
“ emang Adit ada di sini?” Naya
balik Tanya.
“ Tuh…” Maika mengarahkan
telunjuknya pada laki-laki yang sedang mengobrol dengan wanita muda.
“ Eh, tapi ngapain Adit sama tuh
cewek ya?” Lanjut Maika kesal.
“ Ah udah lah, kita bantuin Naya
aja. Oke nay apa yang bisa kita kerjakan kali ini?” Vina langsung menempas
kekesalan Maika dan memegang tangannya untuk terus berada di dekat mereka. Sementara
Ciella sejak tadi terus menguap dan mulai merasa bosan.
Dengan semangatnya, Naya
menjelaskan apa yang harus di lakukan kawan-kawannya. Dari mulai membujuk orang
lewat agar masuk ke toko buku, membuat orang tertarik dengan buku karangan
Naya, bahkan sampai memaksa sebagian
orang dengan menariknya masuk.
Sore itu, toko buku yang biasanya
sepi, mulai terlihat ramai dan gaduh berkat wanita-wanita tersebut. Tapi Naya
malah asik bercanda dengan Nana dan sesekali memberikan tanda tangan pada
pelanggan yang memintanya.
Dari kejauhan terlihat seorang
laki-laki yang mendekatinya. Sambil berjalan ala anak gaul, laki-laki itu
mendatangi Naya dan meminta tanda tangannya. Naya bengong, dan tidak
berekspresi sama sekali. Ia heran, mengapa laki-laki dengan tampilan seperti
rever itu mau membaca novel karangannya. Padahal ceritanya sangat tidak sesuai
dengan style yang terlihat.
Namun Naya tidak membeda-bedakan
penggemarnya. Ia dengan ramahnya memberikan tanda tangan pada buku itu.
Sementara laki-laki yang memakai jersey berwarna abu it uterus terusan
menggerakan kepalanya mengikuti irama music yang ia dengarkan dari erphonenya
dengan wajah yang menunduk. Sehingga membuat Naya tidak bisa melihat wajahnya
dengan jelas.
“ Om…Om…Om kenapa?” Nana dengan
polosnya menarik-narik jaket laki-laki itu yang menurutnya bertingkah aneh.
Suara keras Nana menghentikan
sejenak kegaduhan di sana. Vina, Ciella dan Maika yang berada di luar ruangan
mulai terhenti dan mendekati suara Nana. Begitu pun Adit dan kawan-kawannya
yang sudah berkumpul kembali tiba-tiba menoleh ke arah suara itu. Semua orang
menjadi terpana dengan rever tersebut, sebagian orang terpukau dan sebagian
lagi saling berbisik. Ada juga yang mentertawakan da nada juga yang merasa
keheranan. Tanpa menghiraukan sekeliling, laki-laki tersebut mengambil langkah
seribu sambil menari ala Michael Jackson dengan wajah yang menunduk agar
identitasnya tidak ketahuan. Sementara Naya sudah tak perduli lagi dan mengajak
Nana bercanda kembali.
Lain halnya dengan Adit yang
merasa curiga dengan laki-laki tersebut yang tiba-tiba datang ke arahnya.
Begitupun dengan teman-temannya yang salin menatap. Dengan seketika rever yang
tidak diketahui identitasnya itu langsung jongkok di depan Adit dan membuka
jaket serta topinya. Adit yang melihat tingkah aneh, langsung tertawa
terbahak-bahak.
“ Sutttt….jangan berisik!! Sini
gue pinjem?” Rafa menutup mulut Adit dan menyuruhnya ikut jongkok. Sementara
teman-teman yang lainnya menutupi keberadaan mereka.
“ Eg gue pinjem jas elo ya, terus
kacamatanya.” Dengan cepat rafa membawa barang-barang itu lalu memakainya.
Tak lama suasana pun menjadi aneh
kembali ketika tingkah Rafa mulai berulah. Dengan jalan yang elegan, ia
memasuki kerumunan dengan jas dan kacamata hitamnya. Dari kejauhan Naya dan
teman-temannya mulai saling menatap. Dengan wajah yang penuh tanda Tanya, Naya
menatap laki-laki itu dari atas sampai bawah. Kacamata hitam, jas hitam dengan
baju berwarna biru, celana jenas dan sepatu bola membuat perutnya geli. Namun
dengan tenang ia menahan tawanya itu. Sementara kawan-kawan yang ada di
sampingnya saling bertanya tentang siapa dia.
Dijulurkannya buku novel Naya yang
mengisharatkan laki-laki berjas itu menginginkan tanta tangannya. Sambil
menahan tawa, Naya dengan senang hati menerimanya.
“ Om..Om…emang di sini silau ya?
Kok pake kacamata item segala?” Nana bertanya lagi dengan polos.
Tanpa ada jawaban, laki-laki itu
berbalik dan pergi dari toko buku tersebut.
Adit dan yang lainnya terlihat
menahan tawa lalu menyusulnya keluar. Dan mengejar Rafa yang sudah berjalan
jauh.
“ Fa? Rafaaa?” Adit memanggilnya
sambil berlari.
“ NO COMMMENT!!!” Rafa menjawabnya
dengan langkah yang maksimum
“ Oke….” Sambil menggelengkan
kepalanya, ia mulai berhenti berlari.
Di dalam mobil itu seperti tidak
terjadi sesuatu. Rafa dengan semangatnya menyanyikan sebuah lagu dari radio
sementara Adit menyetir mobilnya. Kali ini Rafa dan Adit memang berencana untuk
datang lagi ke kantor sementara pegawai yang lainnya sudah pada pulang. Adit
yakin untuk menutupi rasa malunya, Rafa bertingkah seolah tidak terjadi sesuatu
yang memalukan. Dan ia bisa menerima tingkah konyol temannya itu.
“ Ka? Adit mana?” Naya mulai
mencari Adit karena merasa harus berterimakasih padanya.
“ Tadi udah pulang sama
temen-temennya.”
“ Oh gitu ya? Ya udah deh bilangin
ke Adit, makasih deh udah bawa kalian ke sini,”
“ Sama kita engga?” Ciella
menggodanya.
“ Iya deh iya, sama kalian tuh
snagat-sangat berterimakasih. Sama Nana juga makasih banget,” Naya mulai
memeluk gadis kecil itu dan menciumnya.
“ Oh iya, tengkyu juga Ka
mobilnya. Tadi lupa kirain itu mobil aku soalnya kuncinya masih ada di tas.”
Naya melanjutkan ucapannya.
“ Ah!! Anak ini nyebelin, bawa
mobil orang tiba-tiba.” Maika mencela dan langsung meninggalkan tempat itu, di
susul dengan yang lainnya karena acara sudah selesai.
Kini Maika, Naya dan Ciella sudah
siap meluncur untuk beristirahat di kontarkan. Selama Ciella masih ditinggal
pergi sang suami, ia pasti menjadi tamu istimewa di kontrakan Naya dan Maika
itu. Sementara Vina sudah mulai berjalan di mobilnya bersana Nana. Ia tak ingin
kena marah suaminya lagi jika harus pulang dari batas waktu yang ditentukan.
“ Tuutt….tuttt….” tak lama
handphone Naya bordering. Namun Naya tidak mengangkatnya, ia terlihat bengong
ketika Nia sang adik menelponnya.
“ Nia? Angkat aja, mungkin penting.”
Ciella yang duduk di belakang memberiakn saran ketika melihat nama penelpon
tersebut.
“ Assalamualaikum…” Naya
mengangkatnya dengan wajah yang bertanya-tanya.
Selama perjalanan, Naya mulai
mendengarkan perkataan dari adiknya itu yang sejak tadi menelpon. Saking
padatnya hari itu, baru sekarang Naya sempat untuk menjawabnya. Maika yang
sejak tadi menyetir mulai terasa terganggu konsentrasinya ketika melihat Naya
tak berbicara sedikitpun. Begitu pun dengan Ciella yang melihat Naya terdiam
mendengarkan cerita Nia di balik telepon yang entah apa.
Naya turun dari mobil tanpa
sepatah kata pun. Maika dan Ciella yang sejak tadi memperhatikannya, ikut
kebingungan. Mereka menyusulnya dengan cepat sampai naya terlihat menuju tangga.
“ Nay, kita makan dulu. Kamu kan
belum makan sejak dari toko buku tadi.” Maika memanggil dengan nada lembut agar
tidak membuatnya marah.
“ Iya Nay, Maika bakalan masak
banyak buat kita malam ini,” Ciella mencoba menggoda Naya.
Tapi tetap saja kawannya yang satu
itu tidak menghiraukan, bahkan ia terus berjalan pelan munuju kamarnya. Dalam
diamnya itu, Maika dan Ciella sudah mengetahui kata hatinya Naya.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar